January 31, 2015

Tugas Indonesia



Tokoh
Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, namun dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:
  1. Tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.
  2. Tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Adapun tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu:
  1. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (baik protagonis ataupun antagonis).
  2. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
  3. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.
Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode penyajian watak tokoh, yaitu:
  1. Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
  2. Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
Adapun menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM, ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu:
  1. Melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
  2. Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
  3. Melalui penggambaran fisik tokoh.
  4. Melalui pikiran-pikirannya
  5. Melalui penerangan langsung
 Alur (Plot)
Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal, yaitu:
  1. Berdasarkan urutan waktu terjadinya (kronologi). Alur yang demikian disebut alur linear.
  2. Berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal). Alur yang demikian disebut alur kausal.
  3. Berdasarkan tema cerita. Alur yang demikian disebut alur tematik. Dalam cerita yang beralur tematik, setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
Adapun struktur alur adalah sebagai berikut:
  1. Bagian awal, terdiri atas: 1) paparan (exposition), 2) rangsangan (inciting moment), dan 3) gawatan (rising action).
  2. Bagian tengah, terdiri atas: 4) tikaian (conflict), 5) rumitan (complication), dan 6) klimaks.
  3. Bagian akhir, terdiri atas: 7) leraian (falling action), dan 8- selesaian (denouement).
Dalam membangun alur, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah:
  1. Faktor kebolehjadian. Maksudnya, peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya tidak selalu realistik tetapi masuk akal.
  2. Faktor kejutan. Maksudnya, peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak / dikenali oleh pembaca.
  3. Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan alur menjadi dinamis.
Adapun hal yang harus dihindari dalam alur adalah lanturan (digresi). Lanturan adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.
 Latar atau Setting?

Sebenarnya pertanyaan di atas sangat mudah jawabannya. Akan tetapi, mengingat seringnya kesalahan penyebutan dilakukan, pertanyaan tersebut perlu ditanyakan kembali. Pilihan jawaban bergantung kepada masing-masing pengguna bahasa. Namun, tidak ada salahnya saya berpendapat.
Istilah setting setelah dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Indonesia belum diserap menjadi bahasa Indonesia. Kata yang sering digunakan untuk ini adalah latar. Dengan pertimbangan tersebut latar memang lebih pantas dijadikan istilah. Pertama, ia merupakan istilah asli Indonesia. Kedua, kata ini lebih mudah dipahami karena sangat dominan digunakan sebagai istilah seni: cerpen, novel, drama, seni pertunjukan, dsb. Setting dalam bahasa Inggris digunakan sebagai istilah yang tidak murni untuk seni. Ketiga, jika dalam istilah saja kita sudah mendompleng bahasa asing, bagaimana dengan isinya?
B.      Definisi Latar
Dalam KBI (2003: 887) latar adalah tempat dan waktu terjadi peristiwa dalam cerita. KBBI (1999: 569) member definisi yang agak berbeda. Latar diberi definisi keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Dari dua definisi tersebut, sekilas definisi kedua lebih lengkap dan lebih baik. Perbedaan keduanya terletak pada adanya suasana selain tempat dan waktu. Untuk membahas lebih mendalam, definisi kamus saja kurang memadai untuk dijadikan dasar.
Abrams (1971: 157) menyatakan bahwa latar dari karya naratif atau drama adalah tempat secara umum dan waktu historis tindakan terjadi. Kenney (1966: 38) menjelaskan bahwa latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan di mana dan kapan terjadi peristiwa. Dengan kata lain, istilah latar mengacu pada titik waktu dan ruang dari peristiwa-peristiwa dalam plot terjadi. Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, misalnya, berlatar tempat Padang dan Jakarta pada masa sebelum kemerdekaan.
C.      Jenis-Jenis Latar
Sesuai dengan perkembangan sastra dan keilmuan teori sastra juga berkembang dan menghadirkan teori yang beragam. Dalam membagi latar para ahli pun memiliki pendapat yang beragam. Perbedaan tersebut didasarkan pada paradigma yang digunakan oleh para ahli tersebut.
Kenney (1966: 38) membagi latar menjadi dua bagian besar, yaitu latar netral dan latar spiritual. Latar netral adalah latar yang tidak terlalu diperhatikan oleh pengarang. Latar dalam bentuk ini hanya sebagai tempat dan waktu kejadian saja, tidak lebih tidak kurang. Latar spiritual adalah latar yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga menghadirkan nilai-nilai tertentu. Latar pedesaan, misalnya, tidak hanya menghadirkan latar fisik seperti jalan tanah, rumput, pohon-pohon, dsb. tetapi juga menghadirkan nilai kesederhanaan, keramahan, ketaatan pada agama dan sebagainya.
D.      Elemen-Elemen Latar
Latar terbentuk dari beberapa hal, yaitu: (1) lokasi geografis yang aktual termasuk topografi, pemandangan, bahkan rincian interior ruangan, (2) jabatan dan mode keseharian karakter atau tokoh, (3) waktu terjadinya peristiwa, misalnya tahun, musim, dsb., (4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh atau karakter.
E.       Fungsi Latar
Latar  dalam karya sastra memiliki berbagai fungsi. Berikut, antara lain, fungsi-fungsi latar dalam sebuah karya sastra.
1.        Latar sebagai Metafora
Jika latar spiritual adalah unsur latar yang secara spiritual memberi efek nilai pada karya, fungsi latar ini adalah fungsi eksternal yang tidak secara langsung (eksplisit) berpengaruh pada cerita. Sebagai metafora, latar menghadirkan suasana yang secara tidak langsung menggambarkan nasib tokoh.
Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonan lain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandangan seberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar di dinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batang sengon yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putih dan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulai mekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklat kemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadap dengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jambe rowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberi kesan purba pada lukisan yang terpajang di sana.
Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agak samar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari barat.
Pohon-pohon kelapa digambarkan dengan indah dalam sebuah ekosistem yang padu. Namun kemudian digambarkan dalam suasana yang mengerikan dengan keadaan yang tidak menentu. Sekilas latar ini hanya latar netral yang tidak melambangkan apa-apa. Kemudian diketahui bahwa tokoh utama Lasi yang hidupnya bahagia dalam kesederhanaan mulai masuk dalam ketidakpastian setelah kecelakaan yang menimpa Darsa.
2.        Latar sebagai Atmosfer atau Suasana
Fungsi latar sebagai atmosfer lebih mudah dibicarakan daripada didefinisikan. Ia semacam aura rasa atau emosi yang ditimbulkan utamanya oleh latar dan membantu terciptanya ekspektasi pembaca.
3.        Latar Tempat sebagai Elemen Dominan
Elemen tempat dalam latar berperan penting dalam beberapa karya fiksi. Yang paling dominan pada fiksi yang mengangkat warna lokal atau yang disebut regionalis. Dalam latar ini tempat menjadi unsur netral atau spiritual dalam sebuah tempat tertentu. Termasuk dalam fiksi jenis ini adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang berbicara tentang Belitong pada zaman Orde Baru.
4.        Latar Waktu sebagai Elemen Dominan
Dalam fiksi ada yang menggunakan elemen waktu sebagai unsur yang dominan. Fungsi latar ini terjadi terutama pada fiksi yang berlatar sejarah. Tidak hanya waktu yang menjadi unsur utama yang terlibat. Ada unsur-unsur nilai dalam waktu, misalnya unsur nilai dalam masa kemerdekaan, masa Orde Baru, dsb.


Temen-temen, buka juga di :
http://www.rumpunnektar.com/2013/11/jenis-jenis-penokohan-dalam-karya-fiksi.html


January 24, 2015

lesmana di rama6ana


Laksmana utawa Lesmana iku putrane Prabu Dasarata nata ing Ayodya lan Dewi Sumitrawati. Dewi Sumitrawati iku putrane Prabu Sumaresi raja ing Suwalaraja. Dadi yen karo Ramawijaya, Barata lan Satrugna, Lesmana iku sadulur tunggal bapa beda ibu. Lesmana tresna asih banget marang kadang-kadange, nanging sing banget disetyani yaiku Ramawijaya. Satriya iki tansah rukun bebarengan ing baba pa wae, ngangsu kawruh ya nunggal guru.Nalika Rama katundhung saka Ayodya, Raden Lesmana iku mbela marang kang raka, nuduhake kasetyane, melu ukum buwang ing alas suwene 13 taun.
Ing alas Dandaka, Dewi Shinta priksa kidang kencana sing endah banget lan mencutake. Shinta nyuwun karo garwane yaiku Rama supaya dicekelake.Rama sumadya.Lesmana didhawuhi dening Rama supaya njaga keslametane Shinta iya mbakyune. Sawetara Rama mburu kidang, ana swara sing ngrerintih jaluk tulung. Shinta ngira yen iku swarane Rama, mula banjur utusan Lesmana supaya nulungi. Lesmana ora gelem amarga wis diweling ora kena ninggalake Shinta. Shinta salah panampa, Lesmana didakwa yen arep tumindak murang tata marang dheweke, Lesmana didakwa seneng yen Rama cilaka supaya mengkone bisa nggarwa Shinta.
Lesmana kaget lan kelara-lara atine, dene kasetyane sing tulus malah diarani culika. Mula Lesmana banjur sumpah wadat teegese ora bakal gelem karma salawase urip.Iku kanggo nuduhake yen ing wektu iku atine resik ora duwe niat ala marang Shinta. Sawise sumpah Lesmana banjur nyusul Rama, nanging sadurunge lunga, ing papane Shinta wis dirajah mubeng supaya ora ana uwong utawa sato kewan kang bisa nyedhaki lan ngganggu marang Shinta. Kacarita, Rahwana (Dasamuka) teka arep dhusta Dewi Shinta.Nanging ora bisa nyedhaki Shinta awit kena dayane rajah.Dasamuka banjur malih dadi Begawan tuwa thuyuk-thuyuk, njaluk tulung marang Shinta.Amarga trenyuh, Shinta metu saka rajah, sanalika disaut Dasamuka, Shinta digawa mabur.
Kocap, kidang kencana kena panahe Rama malih dadi buta raseksa aran Kalamarica. Rama lan Lesmana cubriya, engal-enggal bali ing papane Shinta. Shinta wis ilang. Ana wanodya sing kedanan marang Lesmana, arane Sarpakenaka. Sarpakenaka iku adhine Dasamuka, wujude raseksi utawa buta wadon. Kanggo ndhodhog tresnane Lesmana, Sarpakenaka malih dadi wanita ayu sing ngoyak-oyak Lesmana. Lesmana ora ketarik atine lan nesu, Sarpakenaka dipuntir irunge banjur malih dadi raseksi maneh. Sarpakenaka rumangsa wiring, mula nalika ana peperangan antarane Rama karo Dasamuka, Sarpakenaka arep males wiring marang Lesmana.Ananging Sarpakenaka kalah, matli dening Raden Lesmana.





_______________________________________________________((((((__
Prabu Dasarata, ratu Ayodya duwe garwa prameswari aran Dewi Kosalya (Sukasalya) lan garwa selir aran Dewi Kekayi uga Dewi Sumitra. Saka Dewi Kosalya peputra Sri Rama, saka Dewi Kaikeyi (Kekayi) peputra Bharata, lan saka Dewi Sumitra peputra kembar aran Lakshmana (Lesmana) lan Satrughna. Sawijining dina, ana resi kang jejuluk Rsi Wiswamitra njaluk tulung marang Sri Paduka Dasarata supaya mbébasake pertapane saka para raseksa. Rama lan Lakshmana banjur budhal. Ing pertapan iku, Rama lan Laksmana kasil mateni kabeh raseksa. Sawise kasil merjaya mungsuhe, kekarone banjur tumuju negara Mithila (Manthili) saperlu melu sayembara menthang gandéwa. Sok sapa kang menang bakal dadi sisihane putri raja Janaka, ya Dèwi Sinta. Kabeh pasarta wus siaga lan siji mbaka siji nuduhake kadigdayane menthang langkap gandéwa. Ora ana kang kasil menthangake gandéwa mau kajaba amung Sri Rama.  Sawise Rama kadhaupake, Sinta banjur kaboyong bali menyang Ayodya didherekake Laksmana.

Ing Ayodya, Rama bakal diangkat dadi ratu pinangka pembarep gantining Dasarata. Ananging Kekayi, garwa selir prabu Dasarata nagih janji. Nalika sadurunge dipundhut garwa, Kekayi duwe panyuwunan yen peputra lanang mengkone bakal jumeneng nata Ayodya. Kanthi abot, Dasarata ngabulake panyuwune Kekayi awit biyèn pancèn naté janji mangkono. Saka pokal culikane Kekayi, Rama wurung dadi ratu, malah kudu nglakoni ukuman (dibuwang) ing alas Dhandhaka 13 taun suwéné. Rama, Sinta, lan Laksmana banjur ngumbara nilar kedhaton. Marga nggrantes, ora suwe prabu Dasarata banjur séda. Barata rumangsa ora pantes dadi ratu. Dheweke banjur nggoleki Sri Rama, nyuwun supaya Rama kersa kondur lan jumeneng nata Ayodya. Ananging Rama nampik amarga jejering satriya ora bakal cidra ing janji sumadya nampa ukum. Barata didhawuhi Rama supaya jumeneng nata sawetara, minangka sulihe Raden Rama. Rama banjur  medhar piwulang Asthabrata (astha = wolu, brata = laku) pinangka garan jejering ratu kudu ngugemi lakuning/watak utama kang cacahe ana wolu. Rama uga paring simbolis awujud trompah (basa Sansekreta: p?duka) marang Barata pinangka tandha bukti yen dhèwèké iku mung saderma wakil. Barata banjur jumeneng nata kanthi nganggo tlumpahe Raden Rama.

Ing alas Dhandhaka, ana raseksi aran Surpanakha (Sarpakenaka) kasengsem marang Laksmana. Kanggo ngrayu Lakshmana, Surpanakha banjur mémba dadi wanodya ayu. Ananging Lakshmana ora mempan kagodha, malah irunge Surpanakha kairis. Surpanakha nepsu banjur pradul marang kangmasé (sang Rahwana/Dasamuka) lan mbujuk supaya nyulik garwané Rama kang ayu rupa. Dhasar Rahwana karem marang wanodya ayu, mula sang Rawana banjur ndhawuhi raseksa Kala Marica supaya nyulik Sinta. Marica banjur mémba dadi kidang emas kang éndah. Sinta kasengsem banjur nyuwun supaya mbebedhag kidang emas iku. Rama budhal dhewe ninggal Sinta lan Laksmana. Si kidang emas gesit banget, ora bisa kacekel. Wusanané, Sri Rama anyel banjur nglepasaké panah. Si kidang emas njerit kelaran lan mati, owah malih raseksa. Krungu panjeriting wong kang kelaran, Sinta banjur ngutus Lakshmana supaya nggoleki Rama. Laksmana ora gelem budhal amarga kajibah njaga Sinta. Sawisé ditudhuh yen Lakshmana arep ngarah dhèwèké, Lakshmana banjur budhal nggolèki Rama lan ngrajah Sinta supaya adoh saka godha rencana. Sawisé Sinta dhèwèkan, Rahwana banjur teka. Kanthi mémba dadi resi kang njejaluk jampi, Rahwana kasil nyulik Sinta.

Jeriting Sinta keprungu déning peksi sang Jatayu kang naté dadi réncange prabu Dasarata. Kanthi niat becik, Jatayu nulungi Sinta. Amarga Rahwana luwih sekti, Jatayu kalah. Jatayu kang sekarat isih bisa atur warta marang Rama lan Laksmana, yen Sinta kagawa menyang Alengka, kedhatoné sang Rahwana. Rama lan Laksmana banjur nglari ilangé Dèwi Sinta. dhumateng ing kedhatonipun Rahwana. Ing sajroning alas, Rama kapanggih ratu Kiskindha awujud wanara, ya Sugriwa kang sambat njaluk pitulungan marga rumangsa bojoné (Dèwi Tara) direbut déning seduluré (Subali). Rama saguh mbiyantu, jer mengko uga gelem sabiyantu perang lawan Rahwana. Embuh kang bener kang endi, nanging jejering satriya, Rama ora kena cidra ing janji. Rama kasil merjaya Subali. Sugriwa banjur sumadya nulungi sang Rama kanthi prajurit wanara lan pitulungané patih Anoman (Hanuman). Anoman kautus Rama pinangka dhutané Sri Rama budhal menyang Alengka ngaturaké warta lan kalpika marang Sinta.

Ing kaputrèn Alengka, Sinta dilipur déning Trijatha. Kanthi meneng-meneng, Anoman kasil mlebu ing Alengka lan kapanggih Dèwi Sinta. Dumadakan konangan Indrajit (putrané ahwana). Anoman kecekel Rahwana, banjur diobong. Dhasar wanara sekti, Anoman banjur ngobrak-abrik lan ngobong Alengka. Anoman bali lan ngaturaké warta marang Rama. Kanthi prajurit lan kasektèné, Rama kasil nambak samudra (bendungan Situbanda) kanggo dalan ngrubuhaké Alengka. Ing wektu iku, seduluré Rahwana aran Kumbakarna lan Gunawan Wibisana kadhawuhan mbiyantu mbéla Rahwana. Kumbakarna ora sarujuk marang Rahwana. Marga wanita, Rahwana ngorbanaké negara memungsuhan lawan Rama. Kumbakarna trima lunga tapa, déné Wibisana lunga saka Alengka gabung melu Rama. Perang gedhé dumadi, prajurit raseksa lawan wanara. Indrajit pinangka senopatining perang kaperjaya déning Lakshmana. Kumbakarna dipeksa mbadharaké tapané supaya mbiyantu Rahwana. Kumbakarna saguh, dudu mbéla Rahwana, nanging negara wutah getihé. Rama nglepasaké panah Guwawijaya, Kumbakarna tiwas katugel-tugel dening panah sekti. Rahwana maju ngadhepi mungsuh. Rama bisa ngalahaké Rahwana. Nalika Rahwana kena panah Guwawijaya, Rahwana banjur dibruki gunung dèning Anoman. Alengka bedhah lan Wibisana kajumenengaké dadi ratu ing Alengka. Sinta dijak kondur lan urip bebarengan klawan Rama. Nanging, ing lakon Sinta Obong, Sinta kauji kasuciané déning Rama sadurungé nunggal marang Rama.

Selesai……

Translation